Kilasan Tentang Kabupaten Banjar

Kilasan Tentang Kabupaten Banjar
 
1. Historis

                 Suku bangsa Banjar diduga berintikan penduduk asal Sumatera atau daerah ekitarnya, yang membangun tanah air baru sekitar lebih dari seribu tahun yang lalu di kawasan Kalimantan Selatan saat ini. Setelah berlalu masa yang lama sekali akhirnya,setelah bercampur dengan penduduk yang lebih asli, yang biasa dinamakan sebagai suku Dayak, dan dengan imigran-imigran yang berdatangan belakangan terbentuklah setidak-tidaknya tiga subsuku, yaitu (Banjar) Pahuluan, (Banjar) Batang Banyu, dan Banjar (Kuala). Orang Pahuluan pada asasnya ialah penduduk daerah lembah-lembah sungai (cabang sungai Negara) yang berhulu ke pegunungan Meratus, orang Batang Banyu mendiami lembah sungai Negara, sedangkan orang Banjar (Kuala) mendiami sekitar Banjarmasin
(dan Martapura). Bahasa yang mereka kembangkan dinamakan bahasa Banjar, yang pada dasarnya adalah bahasa Melayu-sama halnya ketika berada di daerah asalnya di Sumatera atau sekitarnya-, yang di dalamnya terdapat banyak kosa kata asal Dayak dan asal Jawa. Dari sisi dialek pengguna Bahasa Banjar Batang Banyu dan Bahasa Banjar Pahuluan tidak jauh berbeda, karena keduanya masih tergolong bahasa Melayu dan merupakan sub dialek.    Nama Banjar itu sendiri diperoleh karena mereka dahulu sebelum dihapuskan pada tahun 1860 adalah warga Kesultanan Banjarmasin atau disingkat Banjar, sesuai dengan nama ibukotanya pada mula berdirinya. Ketika ibukota dipindahkan ke arah pedalaman, terakhir di Martapura, nama tersebut nampaknya sudah baku saat ini atau tidak berubah lagi.
           Suku Banjar terbagi 3 kelompok berdasarkan teritorialnya dan unsur pembentuk
suku :
  1. Banjar Pahuluan adalah campuran Melayu dan Bukit (Bukit sebagai ciri kelompok)
  2. Banjar Batangbanyu adalah campuran Melayu, Maanyan, Lawangan, Bukit dan Jawa (Maanyan sebagai ciri kelompok)
  3. Banjar Kuala adalah campuran Melayu, Ngaju, Barangas, Bakumpai, Maanyan, Lawangan, Bukit dan Jawa (Ngaju sebagai ciri kelompok). 
 Banjar Pahuluan
 
             Sangat mungkin sekali pemeluk Islam sudah ada sebelumnya di sekitar keraton yang dibangun di Banjarmasin, tetapi pengislaman secara massal diduga  terjadi setelah raja, Pangeran Samudera yang kemudian dilantik menjadi Sultan Suriansyah, memeluk Islam diikuti warga kerabatnya, yaitu bubuhan raja-raja. Perilaku raja ini diikuti elit ibukota, masing-masing tentu menjumpai penduduk yang lebih asli, yaitu suku Dayak Bukit, yang dahulu diperkirakan mendiami lembah-lembah sungai yang sama. Dengan memperhatikan bahasa yang dikembangkannya, suku Dayak Bukit adalah satu asal usul dengan cikal bakal suku Banjar, yaitu sama-sama berasal dari Sumatera atau sekitarnya, tetapi mereka lebih dahulu menetap. Kedua kelompok masyarakat Melayu ini memang hidup bertetangga tetapi, setidak-tidaknya pada masa permulaan, pada asasnya tidak berbaur. Jadi meskipun kelompok suku Banjar (Pahuluan) membangun pemukiman di suatu tempat, yang mungkin tidak terlalu jauh letaknya dari balai suku Dayak Bukit, namun masing-masing merupakan kelompok yang berdiri sendiri. Untuk kepentingan keamanan, dan atau karena memang ada ikatan kekerabatan, cikal bakal suku Banjar membentuk komplek pemukiman tersendiri.
             Komplek pemukiman cikal bakal suku Banjar (Pahuluan) yang pertama ini merupakan komplek pemukiman bubuhan, yang pada mulanya terdiri dari seorang tokoh yang berwibawa sebagai kepalanya, dan warga kerabatnya, dan mungkin ditambah dengan keluarga-keluarga lain yang bergabung dengannya. Model yang sama atau hampir sama juga terdapat pada masyarakat balai di kalangan masyarakat Dayak Bukit, yang pada asasnya masih berlaku sampai sekarang. Daerah lembah sungaisungaiyang berhulu di Pegunungan Meratus ini nampaknya wilayah pemukiman pertama masyarakat Banjar, dan di daerah inilah konsentrasi penduduk yang banyak sejak jaman kuno, dan daerah inilah yang dinamakan Pahuluan. Apa yang dikemukakan di atas menggambarkan terbentuknya masyarakat (Banjar) Pahuluan, yang tentu saja dengan kemungkinan adanya unsur Dayak Bukit ikut membentuknya 

Banjar Batang Banyu

             Masyarakat (Banjar) Batang Banyu terbentuk diduga erat sekali berkaitan dengan terbentuknya pusat kekuasaan yang meliputi seluruh wilayah Banjar, yang barangkali terbentuk mula pertama di hulu sungai Negara atau cabangnya yaitu sungai Tabalong. Selaku warga yang berdiam di ibukota tentu merupakan kebanggaan tersendiri, sehingga menjadi kelompok penduduk yang terpisah. Daerah tepi sungai Tabalong adalah merupakan tempat tinggal tradisional dari suku Dayak Maanyan (dan Lawangan), sehingga diduga banyak yang ikut serta membentuk subsuku Batang Banyu, di samping tentu saja orang-orang asal Pahuluan yang pindah ke sana dan para pendatang yang datang dari luar. Bila di Pahuluan umumnya orang hidup dari bertani (subsistens), maka banyak di antara penduduk Batang Banyu yang bermata pencarian sebagai pedagang dan pengrajin. 

Banjar Kuala

               Ketika pusat kerajaan dipindahkan ke Banjarmasin (terbentuknya Kesultanan Banjarmasin), sebagian warga Batang Banyu (dibawa) pindah ke pusat kekuasaan yang baru ini dan, bersama-sama dengan penduduk sekitar keraton yang sudah ada sebelumnya, membentuk subsuku Banjar. Di kawasan ini mereka berjumpa dengan suku Dayak Ngaju , yang seperti halnya dengan dengan masyarakat Dayak Bukit dan masyarakat Dayak Maanyan atau Lawangan , banyak di antara mereka yang akhirnya melebur ke dalam masyarakat Banjar, setelah mereka memeluk agama Islam. Mereka
yang bertempat tinggal di sekitar ibukota kesultanan inilah sebenarnya yang dinamakan atau menamakan dirinya orang Banjar, sedangkan masyarakat Pahuluan dan masyarakat Batang Banyu biasa menyebut dirinya sebagai orang (asal dari) kota-kota kuno yang terkemuka dahulu. Tetapi bila berada di luar Tanah Banjar, mereka itu tanpa kecuali mengaku sebagai orang Banjar. (Alfani Daud, Islam dan Asal Usul Masyarakat Banjar)

Inti Suku Banjar

              Menurut Alfani Daud (Islam dan Masyarakat Banjar, 1997), inti suku Banjar adalah para pendatang Melayu dari Sumatera dan sekitarnya, sedangkan menurut Idwar Saleh justru penduduk asli suku Dayak (yang kemudian bercampur membentuk kesatuan politik sebagaimana Bangsa Indonesia dilengkapi dengan bahasa Indonesianya).

Menurut Idwar Saleh (Sekilas Mengenai Daerah Banjar dan Kebudayaan Sungainya Sampai Akhir Abad ke-19, 1986): " Demikian kita dapatkan keraton keempat adalah lanjutan dari kerajaan Daha dalam bentuk kerajaan Banjar Islam dan berpadunya suku Ngaju, Maanyan dan Bukit sebagai inti. Inilah penduduk Banjarmasih ketika tahun 1526 didirikan. Dalam amalgamasi (campuran) baru ini telah bercampur unsur Melayu, Jawa, Ngaju, Maanyan, Bukit dan suku kecil lainnya diikat oleh agama Islam, berbahasa Banjar dan adat istiadat Banjar oleh difusi kebudayaan yang ada dalam keraton. Di sini kita dapatkan bukan suku Banjar, karena kesatuan etnik itu tidak ada, yang ada adalah group atau kelompok besar yaitu kelompok Banjar Kuala, kelompok Banjar Batang Banyu dan Banjar Pahuluan. Yang pertama tinggal di daerah Banjar Kuala sampai dengan daerah Martapura. Yang kedua tinggal di sepanjang sungai Tabalong dari muaranya di sungai Barito sampai dengan Kelua. Yang ketiga tinggal di kaki pegunungan Meratus dari Tanjung sampai Pelaihari. Kelompok Banjar Kuala berasal dari kesatuan-etnik Ngaju, kelompok Banjar Batang Banyu berasal dari kesatuan-etnik Maanyan, kelompok Banjar Pahuluan berasal dari kesatuan-etnik Bukit. Ketiga ini adalah intinya. Mereka menganggap lebih beradab dan menjadi kriteria dengan yang bukan Banjar, yaitu golongan Kaharingan, dengan ejekan orang Dusun, orang Biaju, Bukit dan sebagainya".
 
            Selanjutnya menurut Idwar Saleh (makalah Perang Banjar 1859-1865, 1991): "Ketika Pangeran Samudera mendirikan kerajaan Banjar ia dibantu oleh orang Ngaju, dibantu patih-patihnya seperti patih Balandean, Patih Belitung, Patih Kuwin dan sebagainya serta orang Bakumpai yang dikalahkan. Demikian pula penduduk Daha yang dikalahkan sebagian besar orang Bukit dan Manyan. Kelompok ini diberi agama baru yaitu agama Islam, kemudian mengangkat sumpah setia kepada raja, dan sebagai tanda setia memakai bahasa ibu baru dan meninggalkan bahasa ibu lama. Jadi orang Banjar itu bukan kesatuan etnis tetapi kesatuan politik, seperti bangsa Indonesia.
               Keadaan geomorfologis Nusantara tempo dulu sangat berbeda, dimana telah terjadi pendangkalan lautan menjadi daratan. Hal tersebut mempengaruhi penyebaran suku-suku bangsa di Kalimantan. Pada jaman purba pulau Kalimantan bagian selatan dan tengah merupakan sebuah teluk raksasa. Kalimantan Selatan merupakan sebuah tanjung, sehingga disebut pulau Hujung Tanah dalam Hikayat Banjar dan disebut Tanjung Negara dalam kitab Negarakertagama. Seperti dalam gambaran Kitab Negarakertagama, sungai Barito dan sungai Tabalong pada jaman itu masih merupakan dua sungai yang terpisah yang bermuara ke teluk tersebut. Ketika orang Melayu generasi pertama yang menjadi nenek moyang suku bangsa Banjar bermigrasi ke daerah ini mereka mendarat di sebelah timur teluk tersebut, diduga di sekitar kota Tanjung, di Tabalong yang di masa tersebut terletak di tepi pantai, mereka bertetangga dengan suku Dayak Maanyan. Suku Dayak Maanyan bermigrasi datang dari arah timur Kalimantan Tengah dekat pegunungan Meratus dan karena tempat tinggalnya dekat laut, suku Maanyan telah melakukan pelayaran hingga ke Madagaskar. Setelah berabad-abad sekarang wilayah suku Maanyan di Barito Timur sangat jauh dari laut karena adanya pendangkalan.
              Sementara suku Dayak Ngaju yang bermigrasi dari datang arah barat Kalimantan Tengah, merupakan keturunan dari suku Dayak Ot Danum yang tinggal dari sebelah hulu sungai-sungai besar di wilayah tersebut. Sedangkan suku Dayak Bakumpai di wilayah Barito merupakan keturunan cabang dari suku Dayak Ngaju yang akhirnya memeluk agama Islam dan merupakan komunitas suku bangsa tersendiri. Suku Banjar yang bertempat tinggal di daerah atas di kaki pegunungan Meratus dari kota Tanjung sampai Pelaihari merupakan kelompok Pahuluan. Kelompok Pahuluan bermigrasi ke arah hilir menuju dataran rendah berawa-rawa di tepi sungai Negara (Batang Banyu) yang telah mengalami pendangkalan. Di wilayah tersebut terbentuk kerajaan-kerajaan yang dipengaruhi agama Hindu dan Majapahit dibuktikan dengan adanya peninggalan bekas-bekas candi di Amuntai dan Margasari.Dari wilayah Batang Banyu yaitu daerah tepian sungai Negara dari Kelua hingga muaranya di sungai Barito, suku Banjar bergerak ke hilir membentuk pusat kerajaan baru dekat muara sungai Barito yaitu kesultanan Banjarmasin, sehingga terbentuklah kelompok Banjar Kuala yang merupakan amalgamasi dari unsur-unsur Melayu, Jawa, Bukit, Maanyan, Ngaju dan suku-suku kecil lainnya. Dari wilayah Kalimantan Selatan, suku Banjar bermigrasi ke wilayah lainnya di Kalimantan.
 
              Dengan mengambil pendapat Idwar Saleh tentang inti suku Banjar, maka percampuran suku Banjar dengan suku Dayak Ngaju suku serumpunnya yang berada di sebelah barat Banjarmasin (Kalimantan Tengah) dapat kita asumsikan sebagai kelompok Banjar Kuala juga. Di sebelah utara Kalimantan Selatan terjadi percampuran suku Banjar dengan suku Maanyan/suku serumpunnya seperti Dusun, Lawangan dan suku Pasir di Kalimantan Timur yang juga berbahasa Lawangan, dapat kita asumsikan sebagai kelompok Banjar Batang Banyu. Percampuran suku Banjar di tenggara Kalimantan yang banyak terdapat suku Bukit kita asumsikan sebagai Banjar Pahuluan.
               Dari uraian tersebut di atas  tergambar bahwa asal mula masyarakat Kabupaten Banjar adalah tergolong kelompok Banjar Kuala, walaupun tidak bisa dipungkiri pula terjadinya percampuran dengan kelompok maupun suku lainnya, dan sejak masa-masa awal memang beragama Islam. Sehingga tata kehidupan masyarakat yang didasari nilai-nilai Islami yang akan dilestarikan melalui Muatan Lokal ini memang perlu dilakukan. Apalagi dengan kondisi sekarang ini sudah sangat umum terjadinya perpaduan secara geopolitik, etnik, dan sosiologis sebagai bangsa Indonesia yang dihadapkan dengan nilai-nilai budaya dari luar, maka posisi muatan lokal yang dapat memperkuat budaya nasional menjadi bernilai strategis. Upaya menggali nilai-nilai, potensi, dan keunikan lokal yang bertujuan  membekali peserta didik  dengan sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang berguna bagi pengenalan lingkungan alam, social, budaya, dan spiritual daerah sendiri, serta mencintai, melestarikan dan mengembangkan keunggulan dan kearifan lokal guna menunjang pembangunan nasional, maka semua upaya menggali sejarah sebagaimana diuraikan di atas tetap menjadi sangat penting dan bernilai strategis.

2. Geografis 
              Secara geografis, Kabupaten Banjar yang terletak antara 2o   49‟  55”  - 3o   43‟ 38”  pada garis Lintang Selatan dan  114o   30‟  20”  hingga  115o  35‟  37” pada Bujur Timur. Dan terbagi menjadi 20 kecamatan, dengan 290 desa/ kelurahan.Ketinggian wilayah Kabupaten ini berkisar antara 0–1.878 meter dari permukaan laut (dpl). Ketinggian ini merupakan salah satu faktor yang menentukan letak kegiatan penduduk, maka ketinggian juga dipakai sebagai penentuan batas wilayah tanah usaha, dimana 35% berada di ketinggian 0–7 m dpl, 55,54% ada pada ketinggian 50–300 m dpl, sisanya 9,45% lebih dari 300 m dpl. Rendahnya letak Kabupaten Banjar dari permukaan laut menyebabkan aliran air pada permukaan tanah menjadi kurang lancar. Akibatnya sebagian wilayah selalu tergenang (29,93%) sebagian lagi (0,58%) tergenang secara periodik.
                 Pada umumnya tanah di wilayah ini bertekstur halus (77,62%) yaitu meliputi tanah liat, berlempung, ber-pasir dan berdebu Sementara 14,93% bertekstur sedang yaitu jenis lempung, berdebu, liat berpasir, sisanya 5,39% bertekstur kasar yaitu pasir berlempung, pasir berdebu.Kedalaman tanah yang efektif bagi akar untuk leluasa mengambil air bagi tumbuhnya tanaman, di wilayah ini pada umumnya (66,45%) lebih dari 90 cm, sementara kedalaman 60-90 cm meliputi 18,72%, dan 30-60 cm hanya 14,83%.
             Menurut peta tanah eksplorasi tahun 1981 skala 1:1.000.000 dari Lembaga Penelitian Bogor di wilayah dijumpai jenis tanah; Tanah organosol, gleihumus dengan bahan induk bahan aluvial dan fisiografi dataran yang meliputi 28,57% dari luas wilayah. Tanah aluial dengan bahan induk lahan aluvial dan fi siografi dataran meliputi 3,72%. Tanah komplek podsolik merah kuning dan laterit dengan bahan induk batuan baku dengan fisiografi dataran meliputi 14,29%. Tanah latosol dengan bahan induk batuan beku dan fisiografi intrusi meliputi 24,84%. Tanah komplek podsolik merah kuning, latosol dengan batu induk endapan dan metamorf meliputi 28,57%.
           Seperti halnya daerah lain yang  termasuk dalam wilayah Indonesia, maka di Kabupaten Banjar juga hanya mengenal dua musim, yaitu musim kemarau dan penghujan. Keadaan ini berkaitan erat dengan arus angin yang bertiup di Indonesia. Pada bulan Juni sampai dengan September arus angin berasal dari Australia dan tidak banyak mengandung uap air, sehingga mengakibatkan musim kemarau di Indonesia. Sebaliknya pada bulan Desember sampai dengan Maret arus angin banyak mengandung uap air. 
           Luas wilayah ±4.668,50 Km2, merupakan wilayah terluas ke 3 di Prop. Kalsel setelah Kab. Kotabaru dan Kab. Tanah Bumbu. Terdiri dari 20 Kecamatan, 277 Desa dan 13 Kelurahan. Batas-batas kabupaten :
  •   Sebelah Utara dengan HSS & Tapin
  • Sebelah Selatan dengan Banjarbaru & Tanah Laut
  • Sebelah Timur dengan Kotabaru & Tanah Bumbu
  • Sebelah Barat dengan Batola & Banjarmasin
           Kabupaten Banjar merupakan kabupaten yang strategis, mengingat  Kabupaten Banjar sebagai trans Kalimantan, sebagai penyangga kota Banjarmasin, berdekatan dengan Pusat pemerintahan Provinsi Kalimantan Selatan. Selain itu Kabupaten Banjar dekat dengan Bandara Internasional, Pelabuhan serta dengan lokasi Terminal Regional. Kabupaten Banjar juga masuk bagian rencana pemerintah Provinsi bagian dari rencana kota metropolitan (Banjarmasin-Banjarbaru-Martapura).
 
            Menurut sejarah, Kabupaten Banjar secara formal terbentuk sejak tahun 1826 dibuat perjanjian perbatasan antara Sultan Adam dengan pemerintah Hindia Belanda. Pada tahun 1835 sewaktu pemerintahan Sultan Adam Alwasiqubillah telah dibuat untuk pertama kalinya ketetapan hukum tertulis dalam menerapkan hukum Islam di Kesultanan Banjar yang dikenal dengan Undang-Undang Sultan Adam. Tahun 1855, daerah Kesultanan Banjarmasin merupakan sebagian dari De zuider-afdeeling van Borneo termasuk sebagian daerah Dusun (Tamiang Layang) dan sebagian Tanah Laut.
               Dari beberapa sumber disebutkan ada beberapa tempat yang menjadi kedudukan raja (istana pribadi Sultan) setelah pindah ke Martapura, seperti Kayu Tangi, Karang Intan dan Sungai Mesa. Tetapi dalam beberapa perjanjian antara Sultan Banjar dan Belanda, penanda tanganan di Bumi Kencana. Begitu juga dalam surat menyurat ditujukan kepada Sultan di Bumi Kencana Martapura. Jadi Keraton Bumi Kencana Martapura adalah pusat pemerintahan (istana kenegaraan) untuk melakukan aktivitas kerajaan secara formal sampai dihapuskannya Kesultanan Banjar oleh Belanda pada tanggal 11 Juni 1860.
             Setelah jatuh menjadi daerah protektorat Hindia Belanda, Sultan Banjar dan mangkubumi cukup hanya menerima gaji tahunan dari Belanda. Di bawah mangkubumi yang dilantik Belanda, daerah protektorat Kesultanan Banjar dibagi menjadi dua divisi yaitu divisi Banua Lima di bawah regent Raden Adipati Danu Raja dan divisi Martapura di bawah regent Pangeran Jaya Pamenang. Divisi Martapura terbagi dalam 5 Distrik, yaitu Distrik Martapura, Distrik Riam Kanan, Distrik Riam Kiwa, Distrik Benua Empat dan Distrik Margasari. Regent Martapura terakhir adalah Pangeran Suria Winata. Jabatan regent dihapuskan pada tahun 1884.
             Status Kesultanan Banjar setelah dihapuskan masuk ke dalam Karesidenan Afdeeling Selatan dan Timur Borneo. Daerah-daerah bekas Kesultanan Banjar digabungkan dengan daerah-daerah yang sudah menjadi milik Belanda sebelumnya.
             Wilayah Kalimantan Selatan dibagi dalam 4 afdeeling, salah satunya adalah afdeeling Martapura. Selanjutnya terjadi perubahan dalam keorganisasian pemerintahan Hindia Belanda. Sejak 1898 di bawah Afdeeling terdapat Onderafdeeling dan distrik. Pembagian administratif tahun 1898 menurut Staatblaad tahun 1898 no. 178, Afdeeling Martapoera dengan ibukota Martapura terdiri dari :
1. Onderafdeeling Martapoera terdiri dari : Distrik Martapura.
2. Onderafdeeling Riam Kiwa dan Riam Kanan terdiri dari : 
  • Distrik Riam Kiwa
  • Distrik Riam Kanan
3. Onderafdeeling Tanah Laoet terdiri dari :
  • Distrik Pleihari 
  • Distrik Maluka
  • Distrik Satui
               Afdeeling Martapura terdiri 3 onderafdeeling, salah satunya adalah wonderafdeeling Martapura dengan distrik Martapura. Dalam tahun 1902, Afdeeling Martapura membawahi 3 onderafdeeling: Martapura, Pengaron dan Tanah Laut. Perubahan selanjutnya Martapura menjadi onderafdeeling di bawah Afdeeling Banjarmasin. Afdeeling dipimpin oleh Controleur dan Kepala Distrik seorang Bumiputera dengan pangkat Kiai. Setelah kedaulatan diserahkan oleh pemerintah Belanda kepada Republik Indonesia tanggal 27 Desember 1949, ditetapkan daerah Otonomi Kabupaten Banjarmasin. Daerah otonom Kabupaten Banjarmasin meliputi 4 Kawedanan.
             DPRDS pada tanggal 27 Februari 1952, mengusulkan perubahan nama Kabupaten Banjarmasin menjadi Kabupaten Banjar yang disetujui dengan Undang undang Darurat 1953, kemudian dikukuhkan dengan Undang-undang No. 27 Tahun 1959.

3.  Sosiodemografis

      Penduduk Kabupaten Banjar yang merupakan bagian dari Kalimantan Selatan adalah mayoritas Suku Banjar dan merupakan penduduk asli yang biasanya disebut sebagai 'Urang Banjar'. Bahasa yang dikembangkan oleh penduduk daerah ini dinamakan bahasa Banjar dan ini berbeda dengan bahasa yang dikembangkan oleh penduduk Hulu Sungai (Alfani Daud, 1997). Selanjutnya, bahasa yang dikembangkan oleh Urang Banjar dinamakan bahasa Banjar dan bahasa yang dikembangkan oleh orang Pahuluan dinamakan bahasa Pahuluan. Dari sisi dialek, pengguna dua bahasa tersebut kemudian tidak mengalami kesulitan karena keduanya masih tergolong bahasa Melayu. Selain itu, bahasa Banjar dan bahasa Pahuluan terbagi atas berbagai subdialek.  Pendapat lain menyatakan bahwa suku Banjar di Kalimantan Selatan umumnya dan termasuk di Kabupaten Banjar, awal mula sesungguhnya bukanlah penduduk asli, namun merupakan hasil dari metamorfosis sejumlah kelompok masyarakat yang kemudian melahirkan sebuah warga baru bernama Urang Banjar (Durasid dan Jantera, 1978). Hal ini tentu berbeda dengan suku bangsa Dayak umpamanya. Dengan kata lain, temuan ini juga didasarkan pada bahasa Urang Banjar yang mereka kembangkan, yaitu bahasa Banjar, yang dapat dianggap sebagai salah satu dialek belaka dari bahasa Melayu dan umumnya dikembangkan oleh suku bangsa-suku bangsa yang mendiami Sumatera dan Tanah Semenanjung Melayu (sekarang Malaysia Barat) sampai saat ini. Ini dapat diperkirakan menjadi cikal bakal nenek moyang suku bangsa Banjar dengan  berintikan suku bangsa Melayu yang berimigrasi ke daerah Kalimantan Selatan dari Sumatera atau sekitarnya pada sekitar lebih dari seribu tahun yang lalu. Mereka memasuki daerah Kalimantan Selatan dari arah selatan, laut Jawa ketika kondisi daerah saat itu masih berada dalam kondisi rawa-rawa yang luas, yang selanjutnya membentuk Provinsi Kalimantan Selatan dan Provinsi Kalimantan Tengah. Saat itu tentu masih merupakan sebuah teluk raksasa dengan pantai sebelah timurnya yang berada di kaki Pegunungan Meratus. Cikal bakal nenek moyang Urang Banjar memudiki sungai-sungai yang bermuara di teluk raksasa dan membangun pemukiman di tepi-tepi sungai tersebut. Semuanya berhulu di kaki Pegunungan Meratus (Alfani Daud, 1997). Ketika secara mula-mula tiba di kawasan ini, mereka tentu berjumpa dengan kelompok-kelompok penduduk yang lebih asli, yang saat ini disebut secara umum sebagai orang Dayak dan saat itu disebut suku Dayak Pegunungan Meratus (suku Dayak Bukit), suku Dayak Manyan, suku Dayak Ngaju (di kalangan masyarakat Banjar dinamakan Biaju), dan suku Dayak Lawangan. Ada sekitar 8 suku Dayak lainnya dan beberapa di ataranya adalah Dayak Iban, Kayan, dan Kenyah (Supriatna, 2008: 40). Selanjutnya, suku Dayak Bukit mungkin yang mempunyai kedekatan sejarah dengan Urang Banjar memiliki asal usul yang sama dengan cikal bakal nenek moyang Urang Banjar, yaitu dari Sumatera atau sekitarnya dan kedatangan mereka ke kawasan ini mungkin lebih awal, namun mereka tetap merupakan kelompok yang terpisah dengan masyarakat Banjar (baca: Pahuluan). Kemungkinan lain menyebutkan bahwa saat itu mereka mendiami dataran-dataran yang lebih rendah dan setelah terdesak oleh masyarakat Banjar, mereka berada jauh di wilayah Pegunungan Meratus. Suku Dayak Manyan mungkin awalnya merupakan penduduk asli daerah lembah Tabalung dan lembah Balangan dan kemungkinan lain adalah saat itu pernah tersebar dalam wilayah yang luas jauh di bagian hilir lembah Negara karena berbagai alasan, namun akhirnya terdesak oleh masyarakat Banjar (baca: Batang Banyu). Ini juga terjadi kepada masyarakat Ngaju dimana kemungkinan besar mereka pernah tersebar di dalam wilayah (eks) Afdeeling Bandjermasin walaupun mereka tetap diduga bukan penduduk asli di kawasan tersebut sebelum akhirnya mereka terdesak sehingga pindah ke tempat yang lebih jauh ke daerah pedalaman (Alfani Daud, 1997). Akibat dari ekses nenek moyang Urang Banjar yang terus bergerak dinamis membangun daerah hunian baru, maka di saat yang sama cikal bakal nenek moyang Urang Banjar membentuk pusat-pusat kekuasaan yang awalnya berskala kecil; kewibawaannya juga meliputi kelompok-kelompok Dayak di sekitarnya, yaitu suku Dayak Manyan di lembah Tabalong dan Balangan (dan sebelah hilirnya), dan suku Dayak Bukit di lembah sungai-sungai lainnya. Ketika pusat-pusat kekuasaan yang kecil-kecil itu berhasil dipersatukan dalam suatu pusat kekuasaan yang lebih luas, pusat kekuasaan yang menyatukan seluruh wilayah Banjar ini bergerak arah ke selatan sejalan dengan terbentuknya delta-delta baru di lembah Negara. Seirama dengan pergeseran ibukota dan pertemuan serta percampuran dengan kelompok-kelompok Dayak, yaitu Dayak Bukit dan Dayak Manyan, dan Dayak Ngaju, ibukotanya kemudian berada di Banjarmasin, maka masyarakat Banjar berkembang menjadi tiga kelompok subsuku, yaitu (Banjar) Pahuluan, (Banjar) Batang Banyu dan Banjar (Kuala) (Alfani Daud, 1997).
Mencermati sejumlah rangkaian proses kemunculan Urang Banjar dimana itu ditandai selama berabad-abad teluk raksasa yang maha luas itu berubah menjadi rawarawa dan daratan, maka ternyata cikal bakal masyarakat Banjar itu menempati suatu wilayah yang dibatasi oleh Pegunungan Meratus di sebelah timur dan di sebelah barat dibatasi oleh sungai Barito. Mereka kemudian mendesak orang-orang Dayak dengan sedemikian rupa sehingga kelompok-kelompok Bukit mendiami daerah Pegunungan Meratus yang lebih jauh, kelompok-kelompok Manyan hanya tersisa sedikit di lembah Tabalong dan lembah Balangan, dan kelompok-kelompok Ngaju tidak ada lagi di daerah ini, kecuali mereka yang melebur ke dalam masyarakat Banjar. Selanjutnya, Masyarakat Dayak, khususnya Bukit dan Manyan, mempunyai dongeng-dongeng yang menyatakan tentang kenangan mereka tentang daerah-daerah yang dahulu merupakan tempat tinggal mereka (Alfani Daud, 1997). Ini selanjutnya memberikan sebuah ilustrasi tentang percampuran darah dengan kelompok-kelompok Dayak setempat. Kebudayaan kaum imigran Melayu lebih unggul dan lebih dominan dari kebudayaan masyarakat yang lebih asli Sehingga meskipun mungkin darah Dayak lebih banyak mengalir dalam tubuh kelompok masyarakat Banjar tertentu, namun kebudayaan yang dikembangkannya tetap merupakan kebudayaan kaum pendatang. Bahasa yang dikembangkan juga merupakan bahasa kaum pendatang, yaitu bahasa Melayu yang mereka bawa sebelum berimigrasi ke daerah baru. Tentu, ini kemudian melahirkan bahasa Melayu yang kaya dengan banyak kosakata yang berasal dari bahasa Melayu setempat. Bahasa Melayu yang berkembang setidak-tidaknya terdiri atas dua dialek yang besar, yaitu bahasa Banjar (Kuala) dan bahasa Pahuluan atau Banjar Hulu dan masing-masing terdiri atas subdialek-subdialek yang lebih kecil (Alfani Daud, 1997). Tentu, menjadi semakin menarik ketika wilayah kependudukan Urang Banjar yang merupakan kerja keras dan kerja cerdas para pendatang membentuk masyarakat baru bernama Urang Banjar dikaitkan dengan Kesultanan Banjar dimana saat itu merupakan sebuah sebutan untuk pusat kekuasaan yang meliputi seluruh wilayah sebelum akhirnya dihapuskan, dan demikian pula pusat kekuasaan yang  mendahuluinya (antara lain Negaradipa dan Negaradaha). Kawasan tersebut pernah meliputi wilayah yang jauh lebih luas daripada sekedar wilayah yang secara tradisional dapat dinamakan Tanah Banjar. Daerah hulu Barito (sekarang Kabupaten Barito Utara dan Kabupaten Barito Selatan dalam wilayah Provinsi Kalimantan Tengah) adalah basis para pendukung kesultanan yang memberontak terhadap pemerintah Hindia Belanda hingga permulaan abad ini. Hikajat Bandjar (Ras, 1968) mencatat daerah pantai timur, selatan, dan tenggara Kalimantan sebagai daerah kekuasaan raja-raja Banjar pada masa awal atau pada zaman permulaan kesultanan Islam (Alfani Daud, 1997).
            Saat ini mayoritas penduduk Kabupaten Banjar berasal dari etnis Banjar. Terdapat pula etnis Jawa, Madura dan Sunda yang datang sebagai transmigran. Selain itu ada pula keturunan Arab yang banyak mendiami perkotaan dan kecamatan Martapura Timur.
             
4. Ciri-ciri Umum Budaya dan Bahasa
 
Banyak tinjauan maupun identitas diberikan untuk mengidentifikasi Kabupaten Banjar pada umumnya, maupun kota Martapura pada khususnya. Motto “BARAKAT” yang digunakan untuk Kabupaten Banjar yang mengandung arti bahwa segala potensi yang dimiliki Kabupaten Banjar adalah merupakah berkah dari Allah SWT, dan segala upaya pembangunan yang dilakukan untuk mengembangkan Kabupaten Banjar tetap mengharapkan berkah dari Allah SWT. Hal ini menunjukkan betapa nilai spiritualitas Islami melekat pada Kabupaten Banjar. Kota Martapura sebagai ibukota Kabupaten Banjar juga diidentifikasikan sebagai “Serambi Makkah” menunjukkan betapa kuat dan kentalnya kehidupan beragama yang melandasi kehidupan masyarakat termasuk kehidupan di bidang-bidang lainnya seperti kehhidupan sosial politik, seni budaya, ekonomi, dan pemerintahan. Kentalnya kehidupan religiusitas ke-Islaman ini sebenarnya tidak terlepas dari sejarah terjadinya “Islamisasi Banjarmasin” (saat Kabupaten Banjar masih sebagai kerajaan Banjar dengan nama “Kerajaan Banjarmasin) yang berproses secara alami dengan didasari nilai-nilai yang selalu dijunjung tinggi, baik oleh masyarakatnya. Saat itu Raden Samudera yang merupakan pewaris tahta di Negara Daha diangkat sebagai raja di hilir Sungai Barito. Diawali dengan upaya menaklukkan Negara Daha menjadi bagian Kerajaan Banjarmasin, atas anjuran Patih Masih  maka Raden Samudera meminta bantuan kepada Sultan Demak. Atas hidayah Allah SWT pula, persyaratan yang diajukan Sultan Demak yakni Raden Samudera beserta rakyatnya harus memeluk agama Islam terlebih dahulu ternyata dipenuhi. Sehingga Raden Samudera beserta pengikutnya resmi beragama Islam dan beliau mengubah nama menjadi Sultan  Suryanullah dan dikenal dengan Sultan Suriansyah. Begitu pula saat Negara Daha ditaklukkan melalui proses politik dan menjadi bagian dari Kerajaan Banjarmasin, Pangeran Tumenggung sebagai raja di Negara Daha beserta pengikutnya menyatakan memeluk agama Islam. Dengan demikian, sejarah mencatat bahwa seiring awal mula berdirinya Kerajaan Banjar dengan nama Banjarmasin yang kemudian meliputi wilayah Negara Daha memang bermula Islam menjadi agama resmi kerajaan.
Yusliani Noor dalam bukunya “Islamisasi Banjarmasin Abad ke-15 sampai ke-19” menulis bahwa “Kontinuitas  perjalanan komunitas Banjarmasin pra-Islam memberi penjelasan atas peristiwa yang mewarnai potret sejarah Islamisasi Banjarmasin yang mempertautkan jaringan sosial, antara personal pendatang dengan personal lokal yang menerima pengaruh Islam, serta antar personal dengan komunitas lokal, atau antar komunitas yang saling berinteraksi. Pada tahap ini, maka sejarah merekam perubahan Banjarmasin sejak abad ke-15 hingga abad ke-19 pada berbagai sisi, termasuk peerubahan-perubahan penting yang disebabkan saluran-saluran Islamisasi. Pada berbagai saluran Islamisasi memperlihatkan pertautan „the great man’, orang besar, dengan orang-orang kecil, atau jaba, yang mendapatkan „hidayah Allah’ sekaligus „nur‟ yang secara  ikhlas meninggalkan identitas kepercayaan nenek moyangnya, lalu menerima agama Islam sebagai keyakinan”. Sejarah mencatat pula bahwa saat Belanda menyerang Banjarmasin di tahun 1612 dan membakar seluruh  pusat kerajaan, maka pusat kerajaan dipindahkan ke Kuliling Benteng – Martapura, kemudian ke Batang Banyu Ulu Sungai Martapura. Saat itu pemerintahan dipimpin Sultan Musta‟in Billah (sultan keempat) setelah Sultan Suriansyah. Kentalnya kehidupan Islami telah menjadi bagian dari kehidupan kerajaan, sehingga terlihat jelas baik di masa kerajaan masih di Banjarmasin maupun setelah dipindahkan ke Martapura nilai spiritualitas Islam memang sudah melekat dan melandasi kehidupan masyarakat termasuk kehidupan di bidang-bidang  kehidupan sosial politik, seni budaya, ekonomi, dan pemerintahan.
             Adapun saat Kabupaten Banjar secara formal terbentuk sejak tahun 1826 sebagaimana diuraikan terdahulu, dibuat perjanjian perbatasan antara Sultan Adam dengan pemerintah Hindia Belanda. Pada tahun 1835 sewaktu pemerintahan Sultan Adam Alwasiqubillah telah dibuat untuk pertama kalinya ketetapan hukum tertulis dalam menerapkan hukum Islam di Kesultanan Banjar yang dikenal dengan Undang-Undang Sultan Adam.
               Dari beberapa sumber disebutkan ada beberapa tempat yang menjadi kedudukan raja (istana pribadi Sultan) setelah pindah ke Martapura, seperti Kayu Tangi, Karang Intan dan Sungai Mesa. Tetapi dalam beberapa perjanjian antara Sultan Banjar dan Belanda, penanda tanganan di Bumi Kencana. Begitu juga dalam surat menyurat ditujukan kepada Sultan di Bumi Kencana Martapura. Jadi Keraton Bumi Kencana Martapura adalah pusat pemerintahan (istana kenegaraan) untuk melakukan aktivitas kerajaan secara formal sampai dihapuskannya Kesultanan Banjar oleh Belanda pada tanggal 11 Juni 1860.  Pasca dihapuskannya Kesultanan Banjar pada tahun 1860 oleh Pemerintah Kolonial Belanda maka gelar-gelar ke feodalan seperti, pangeran, gusti, anang dan antung menjadi nama kultural. Lapisan masyarakat Banjar status ditandai oleh profesi yang disandangnya. Katakan saja, guru, dosen, pedagang, pegawai negeri, pengusaha dan lain sebagainya. Nama-nama yang disandang oleh orang Banjar umumnya hanya satu kata. Katakan saja Sarbaini dibelakangnya selalu disertai kata bin atau binti sebagai penanda anak dari nama orang tuanya, Sarbaini bin  Haji Zurkani atau Alfisah binti Haji Syamsiar. Pada masa kini kata bin atau binti tidak dicantumkan, sehingga nama itu menjadi Sarbaini Zurkani. Bagi kaum perempuan Banjar ketika sudah menikah nama orang tua tidak disertai lagi melainkan nama suaminya. Misalnya Alfisah Sofyan, karena suaminya bernama Sofyan. Berkaitan dengan organisasi sosial di Banua (tanah ) Banjar  tidak mengenal marga atau famili tetapi terdapat suatu ikatan kekerabatan ambilineal yang disebut dengan  bubuhan dan kula.  Di setiap kampung di banua Banjar terdapat dua sampai tiga bubuhan.   Bubuhan sangat kuat ikatan sosialnya, dan mempunyai nilai yang tinggi bagi masyarakat Banjar. Bubuhan mempunyai fungsi untuk memberikan perlindungan ekonomi dan keamanan bagi anggotanya, karena di dalamnya bertalian dengan harga diri dan martabat. Tidak jarang jika seseorang melecehkan bubuhan seseorang maka akan terdapat reaksi keras dari anggota bubuhan yang dilecehkan, sebaliknya jika seseorang memuji seseorang maka bubuhan orang itupun  ikut terbanggakan.  Bubuhan ditandai dengan suatu kesamaan tempat tinggal dan nama tokoh yang sudah menjadi datuknya mereka. Katakan saja bubuhan yang ditandai oleh kesamaan tempat tinggal dibangun atas kesamaan muasal kampung. Ketika anggota bubuhan itu menetap  di luar kampung maka ia membuat kelompok bubuhan. Misalnya bubuhan Awayan, bubuhan Sungai Miai, bubuhan Gunung Kupang dan lain sebagainya. Bubuhan yang ditandai oleh  ikatan geneologi atau keturunan dan kekerabatan, contohnya adalah bubuhan Haji Sarkawi, bubuhan kaluwarga Sadran. Selain itu, terdapat juga bubuhan  yang terikat oleh pertalian sosial terhadap  tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh-tokoh pelaku sejarah, misalnya bubuhan habib, bubuhan pambakal, bubuhan   veteran, bubuhan pejuang dan lain sebagainya.  Setiap bubuhan dipimpin oleh seorang yang dianggap mempunyai kelebihan dalam segala bidang oleh para pengikutnya. Biasanya kepala bubuhan merangkap sebagai kepala kampung yang disebut pambakal yang bertanggung jawab langsung kepada sultan. Pembakal sebagai kepala kampung yang formal dalam bertugas dibantu oleh juru tulis atau panakawan atau penggerak, penghulu, dan tetuha kampung (orang yang dituakan), kepala hutan (orang yang bertugas mengurus hutan tertentu), kepala
padang (jabatan seseorang yang bertugas mengurus daerah pertanian pada wilayah penggerak), kepala handil atau orang yang bertugas atau penguasaan sebuah sungai (Saleh, 1989: 48-49). Selain  menata kampung secara tradisi pambakal juga bertugas memungut pajak dan merekrut anggotanya untuk dijadikan prajurit dalam masa perang.
Dapat dikatakan pambakal juga merupakan orang yang mengetahui keadaan masyarakatnya serta mencari jalan keluar melalui suatu tindakan dengan bijaksana. Pengangkatan untuk menjadi pembakal melalui suatu tindakan dengan bijaksana melalui sebuah pemilihan yang disebut dengan sebutan lotrai.
Penghulu merupakan nama jabatan keagamaan di tataran kampung, bertugas mengurus pembagian harta warisan mengenai, menjadi imam atau khatib. Penghulu dimata masyarakatnya menjadi tokoh yang dipanuti, bahkan tidak jarang kharisma penghulu lebih besar daripada pambakal.
Tuan guru adalah sebutan bagi seseorang yang dianggap ahli dalam bidang agama Islam. Biasanya para penghulu sebelum diangkat menjadi penghulu adalah tuan guru dapat dikatakan sebagai pemimpin masyarakat kampung yang bersifat nonformal.
Tatuha kampung adalah tokoh yang sangat disegani oleh masyarakat. Seseorang yang dapat dikategorikan sebagai tatuha kampung umumnya bertautan dengan keluarga pendiri  kampung. Tatuha kampung memiliki pengetahuan keagamaan yang tinggi, bersikap bijak dan memiliki kekayaan. Peranan tatuha kampung dalam Undang-undang Sultan Adam terlihat jelas, yaitu bertugas membuat masjid disebuah kampung, memerintahkan solat jumat dan selalu mengedepankan dialog ketika terjadi perselisihan. Dengan demikian pada tataran kampung ditemukan sebuah  basis demokrasi.
Dalam masyarakat Banjar selain terdapat komunitas bubuhan juga terdapat kula atau sebutan lain dari paranah. Komunitas kula dan bubuhan  terdapat kemiripan tetapi berbeda. Komunitas kula dibangun melalui pertalian geneologis dan perkawinan. Apabila diraut kekerabatan tersebut maka  dalam masyarakat terdapat  tiga bentuk keluarga, yaitu (1) keluarga inti, meliputi ayah, ibu, dan anak yang belum nikah. Terkadang terdapat pula  anggota keluarga yang sudah renta, atau kurang mampu yang
memerlukan perlindungan dari kepala keluarga; (2) keluarga luas terdiri dari kakek (kai), nenek (nini), ibu, anak, menantu,  dan cucu yang menghuni dalam satu rumah; (3) dan keluarga inti serta luas, meliputi semua saudara kakek, saudara nenek,  saudara dari  bapak, ibu, orang tua menantu termasuk saudaranya, kemenakan,  hingga kepada keseluruhan para cucunya (Muklis Maman, 2013:29). Perbauran dari keluarga inti, keluarga luas dan keluarga serba luas akhir terbangun apa yang disebut dengan kula.  Biasanya dalam mengurai keberadaan pertalian geneologis  dalam kula dapat dicermati dari struktur family  secara vertikal yang menaik maupun menurun dan horizontal.  Apabila terdapat hubungan kekerabatan dalam kula. Selain istilah bubuhan dan kula, dikenal pula Papadaan yakni hubungan sosial yang bersifat emosional yang mampu mempererat hubungan persaudaraan. Diakui konsep bubuhan akan memunculkan bubuhan yang lain yang dapat memunculkan konflik. Akan tetapi, konflik ini akan bisa diselesaikan dengan apa yang disebut papadaan sehingga bubuhan-bubuhan yang terlibat konflik akan merasa kembali bersatu dengan adanya konsep papadaan. Narasi tentang bubuhan, kula dan papadaan sangat penting dicermati melaluinya kebudayaann Banjar baru dapat dipahami. Diakui secara tersurat akan muncul tapsiran bubuhan (kelompok) kita dan bubuhan  (kelompok) lainnya yang memungkinkan muncul perselisihan antar bubuhan, akan tetapi ada pepatah Banjar yang menyebutkan mau haja bakalah dan bamanang yang dapat diartikan mau menerima dan memberi. Dalam konteks ini terlihat bahwa masyarakat Banjar lebih mengutamakan persaudaraan. Semua masalah dapat dimusyawarahkan, persaudaraan tetap terjaga antar bubuhan yang merupakan modal sosial bagi berkembangnya demokrasi dan nasionalisme. Sedangkan menyangkut bahasa yang merupakan simbol untuk mengkomunikasikan gagasan-gagasan atau ide yang muncul dari proses berpikir para cendiakiawan awal yang telah diinisiasi menjadi orang pintar, dalam bentuk lisan di sebuah komunitas. Gagasan-gagasan  atau ide, orang pintar itu dituturkan dan ditransmisikan kepada generasi berikutnya dapat sirna karena faktor daya ingat, dan tidak ada pendukungnya  maka diciptakan aksara. Dalam konteks ini Bahasa Banjar merupakan alat komunikasi dalam komonitas masyarakat Banjar juga dapat digunakan sebagai sesuatu untuk menceritakan riwayat.  Dalam catatan sejarah dan realitas kekinian,  persebarannya bahasa Banjar sangat luas, sehingga menjadi bahasa berprestasi  di kalangan penutur bahasa daerah lain  di wilayah luar Kalimantan Selatan, yaitu Kalimantan Tengah, Timur, dan Utara. 

a. Bahasa Lisan 

Sebelum  mengenal aksara masyarakat Banjar mengembangkan sastra lisan berwujud kisah-kisah fabel seperti Pilanduk lawan Kalambuai, warik lawan kura-kura, dan lain sebagainya. Selain itu, cerita tentang datu atau tokoh idola seperti Datu Kartamina, Datu Sungsum, Datu Nihing, Datu Puja, Datu Sulaiman, Datu Niang Thalib dan sebagainya. Cerita-cerita fable dan datu pada dasarnya merupakan transmisi dari generasi tua ke generasi berikutnya tentang pengetahuan keteladan, kepahlawanan, moral dan lain sebagainya. Bahasa lisan sendiri erat sekali pertaliannya tradisi  tutur di dalam masyarak Banjar. Katakan saja tradisi,  sastra lisan sebagai bentuk komunikasi yang terstruktur dibandingkan dengan pertuturan sehari-hari. Misalnya puisi, prosa maupun bentuk kesenian lainnya  seperti madihin, lamut dan mamanda yang tidak dimasukan dalam bagian puisi dan prosa Banjar. Puisi terdiri dari Pantun, Syair, Mantra, Baandai dan Peribahasa.
             Sedangkan kapan bahasa tulisan bahasa tulis dengan bahasa Banjar dikenal oleh masyarakat Banjar tidak diketahui secara pasti, sebab kalaupun ada peninggalan tertulisnya, bahasa tulis ini berupa manuskrip-manuskrip yang pada umumnya tidak bernama dan berangka tahun, beberapa di antaranya manuskrip ini berisi tentang syair dan hikayat dengan menggunakan huruf arab melayu dengan sistem ejaan Arab Melayu juga dan bahasanya juga lebih condong ke Melayu bukan ke bahasa Banjar atau campuran antara Melayu dan Banjar. Hal ini sebenarnya dapatlah di maklumi sebab bagaimanapun masyarakat Banjar di pengaruhi oleh budaya lain dan masyarakat lain dalam kaitannya dengan kebahasaan dan kerelegian yang mereka bawa dalam berkomunikasi lisan dan tulis yang ternyata mampu membaur di kehidupannya, seperti pengaruh islam dengan aksara arabnya dan Melayu sebagai bahasa pengantarnya.
               Pengaruh-pengaruh Islam inilah yang dimungkinkan banyaknya syair-syair Islami menjadi disukai dan diajarkan para tetuha kepada anak-anak mudanya seperti Syair Maulid Habsyi, Barzanji, Maulid Diba‟I, Qasidah-qasidah, dll.
               Setelah mengenal aksara Arab-Melayu kurang lebih abad XVI seiringan dengan terbentuknya Kesultanan Banjar maka bahasa Banjar ditulis dalam aksara Arab Melayu.

Beriringan dengan itu, kaum literati istana Kesultanan Banjar menulis karyakarya sastra berwujud syair. Pemakaian bahasa Banjar dalam dunia kesenian terutama kesenian tradisional seperti  madihin, mamanda, lamut, dan wayang kulit masih dapat kita tonton dan dengar. Sedangkan gagasan tentang bagaimana bernegara yang dikaryakan oleh orang Banjar dalam bentuk Keterangan tentang peraturan Kesultanan Banjar dibuat oleh Sultan Adam pada abad XIX ( 1835)  atau 1251 H tanggal  15 Muharam merupakan fakta, bahwa bahasa Banjar menggunakan aksara Arab- Melayu.  

B. Kabupaten Banjar Dalam Perspektif Kekinian

            Tinjauan dengan perspektif kekinian yang dimaksud dalam uraian ini difokuskan pada tinjauan sejak perubahan nama Kabupaten Banjarmasin menjadi Kabupaten Banjar yang disetujui dengan Undang-undang Darurat 1953, kemudian dikukuhkan dengan Undang-undang No. 27 Tahun 1959.
              Sejak tahun 1826 dibuat perjanjian perbatasan antara Sultan Adam dengan pemerintah Hindia Belanda. Pada tahun 1835 sewaktu pemerintahan Sultan Adam Alwasiqubillah telah dibuat untuk pertama kalinya ketetapan hukum tertulis dalam menerapkan hukum Islam di Kesultanan Banjar yang dikenal dengan Undang-Undang Sultan Adam. Tahun 1855, daerah Kesultanan Banjarmasin merupakan sebagian dari De zuider-afdeeling van Borneo termasuk sebagian daerah Dusun (Tamiang Layang) dan sebagian Tanah Laut.
             Dari beberapa sumber disebutkan ada beberapa tempat yang menjadi kedudukan raja (keraton) setelah pindah ke Martapura, seperti Kayu Tangi, Karang Intan dan Sungai Mesa. Tetapi dalam beberapa perjanjian antara Sultan Banjar dan Belanda, penanda tanganan di Bumi Kencana. Begitu juga dalam surat menyurat ditujukan kepada Sultan di Bumi Kencana Martapura. Jadi Keraton Bumi Kencana Martapura adalah pusat pemerintahan (istana kenegaraan) untuk melakukan aktivitas
kerajaan secara formal sampai dihapuskannya Kesultanan Banjar oleh Belanda pada tanggal 11 Juni 1860
            DPRDS pada tanggal 27 Februari 1952, mengusulkan perubahan nama Kabupaten Banjarmasin menjadi Kabupaten Banjar yang disetujui dengan Undang undang Darurat 1953, kemudian dikukuhkan dengan Undang-undang No. 27 Tahun 1959. Sejak diberlakukan Undang-undang Darurat 1953, kemudian dikukuhkan dengan Undang-undang No. 27 Tahun 1959 berdirinya Kabupaten Banjar.
            Sebagai salah satu kabupaten yang mempunyai luas wilayah ± 4.668,50 Km2, merupakan wilayah terluas ke 3 di Propinsi Kalimantan Selatan setelah Kab. Kotabaru dan Kab. Tanah Bumbu, yang terdiri dari 20 Kecamatan, 277 Desa dan 13 Kelurahan, dengan kondisi geografis yang cukup bervariasi.. 
            
Pembagian Administratif

               Kabupaten Banjar terbagi menjadi 20 kecamatan, yaitu:
1. Kecamatan Aluh Aluh
2. Kecamatan Aranio
3. Kecamatan Astambul
4. Kecamatan Beruntung Baru
5. Kecamatan Cintapuri Darussalam
6. Kecamatan Gambut
7. Kecamatan Karang Intan 
8. Kecamatan Kertak Hanyar
9. Kecamatan Martapura
10. Kecamatan Martapura Barat
11. Kecamatan Martapura Timur
12. Kecamatan Mataraman
13. Kecamatan Paramasan
14. Kecamatan Pengaron
15. Kecamatan Sambung Makmur
16. Kecamatan Simpang Empat
17. Kecamatan Sungai Pinang
18. Kecamatan Sungai Tabuk
19. Kecamatan Telaga Bauntung
20. Kecamatan Tatah Makmur
            Dari 20 kecamatan tersebut di atas dapat digolongkan menjadi 3 wilayah yang secara geografis memiliki kekhasan, yakni  :
  1. Wilayah Pesisir Laut / pantai dan Persawahan, seperti  : Aluh-aluh, Beruntung Baru,Tatah Makmur, Kertak Hanyar, Gambut, Cintapuri Darussalam, dan Sungai Tabuk.
  2. Wilayah Dataran Rendah, seperti : Martapura, Martapura Barat, Martapura Timur,Karang Intan, Astambul, dan Mataraman. 
  3. Wilayah Pegunungan, seperti : Aranio, Paramasan, Pengaron, Sambung Makmur,Simpang Empat, Sungai Pinang.
            Kondisi geografis di masing-masing wilayah ini secara alami tentu mempengaruhi kehidupan masyarakatnya, baik sosial budaya, ekonomi, maupun ketrampilan yang dikembangkan di masing-masing wilayahnya. Hal inilah yang membutuhkan adanya upaya yang sinergis saat sekarang ini dalam mengembangkan peserta didik melalui muatan lokal dengan mempertimbangkan keseimbangan, kearifan, yang tetap didasari nilai-nilai luhur agama  dengan tetap pula menjaga otentisitas nilai-nilai yang harus dilestarikan tanpa harus tergerus oleh budaya asing yang bertentangan 

Perekonomian

          Sebagian besar masyarakatnya bermata pencaharian sebagai petani dari perkebunan karet yang rata-rata adalah kebun perseorangan. Selain itu perkebunan jeruk menjadi penopang hidup sebagian masyarakat yang merupakan produk unggulan dari Kecamatan Astambul. Keberadaan perusahaan lokal, nasional dan asing yang bergerak dibidang Tambang Batubara turut memberikan andil besar terhadap perekonomian di Kabupaten Banjar.
           Tambang Batubara di kabupaten ini dikelola oleh perusahaan seperti PT. Pamapersada Nusantara, PT. Kalimantan Prima Persada, PT. Pinang Coal Indonesia dan lain-lain yang diawasi oleh Perusahaan Daerah (PD. Baramarta).
 
Suku bangsa

            Mayoritas penduduk Kabupaten Banjar berasal dari etnis Banjar. Terdapat pula etnis Jawa, Madura dan Sunda yang datang sebagai transmigran. Selain itu ada pula keturunan Arab yang banyak mendiami perkotaan dan kecamatan Martapura Timur. Suku bangsa yang ada di Kabupaten Banjar antara lain:
1. Suku Banjar: 361.692 jiwa
2. Suku Jawa: 29.805 jiwa
3. Suku Bugis: 828 jiwa
4. Suku Madura: 13.047 jiwa
5. Suku Bukit: 1.737 jiwa
6. Suku Mandar: 17 jiwa
7. Suku Bakumpai: 34 jiwa
8. Suku Sunda: 1.187 jiwa
9. Suku lainnya: 3.554 jiwa

Layanan publik
 
 RSUD Ratu Zalecha di Martapura.
 RS Danau Salak di Mataraman.
 Terminal Induk di Km. 17.
 Pasar Sekumpul
 Taman Cahaya Bumi Selamat
 
Kepala daerah

            Pada masa Hindia Belanda memang telah diangkat kepala daerah olehpemerintah Hindia Belanda yang disebut Regent. Berikut ini adalah daftar nama-nama Regent Martapoera :
 
1. Pangeran Djaja Pamenang 1860–1870 Regent (Bupati) Martapoera
2. Pangeran Soeria Winata 1870–1884 Regent (Bupati) Martapoera

Daftar Bupati Banjar

              Sejak perubahan nama Kabupaten Banjarmasin menjadi Kabupaten Banjar yang disetujui dengan Undang-undang Darurat 1953, kemudian dikukuhkan dengan Undang-undang No. 27 Tahun 1959 maka Berikut ini adalah daftar nama-nama yang pernah memimpin Kabupaten Banjar sejak tahun 1950 :
1. A. Basoeni 1950–1952 Bupati
2. A. Roeslan 1952–1953 Bupati
3. H.M. Yusran 1953–1956 Bupati
4. Mansyah 1956–1958 Bupati
5. Gt.Masrudin 1958–1959 Bupati
6. Wahyu Arief 1959 Kepala Daerah
7. H.A. Hudari 1959–1960 Bupati KDH
8. H. Basri, BA 1960–1965 Bupati KDH
9. H.A.H. Budhigawis 1965–1972 Bupati KDH
10. Soendijo 1972–1982 Bupati KDH
11. Drs.H.Mochtar Sofyan 1982–1987 Bupati KDH
12. Rusiansjah, B.Ac 1987–1989 Bupati KDH
13. Drs. Fadhullah Thaib 1989–1990 Pejabat sementara (pjs.) Bupati KDH
14. Drs. Faisal Hasanuddin 1990–1995 Bupati KDH
15. H. Abdul Madjid 1995–1999 Bupati KDH
16. Drs.H. Rudy Ariffin, MM 1999–2005 Bupati Banjar
17. Ir.H.Gusti Khairul Saleh, MM 2005–2015 Bupati Banjar
18. DR. Ir. Rahmadi Kurdi, M.AP. 2015–2016 Pejabat sementara Bupati Banjar
19. K.H. Khalilurrahman 2016–Sekarang Bupati Banjar


Sumber: Buku 1 Muatan Lokal Banjar Tim Pengembang Kurikulum Muatan Lokal Pendidikan Dasar Kabupaten Banjar
 








Komentar

Postingan Populer